Ads 468x60px

Senin, 18 Februari 2013

Daerah pasti

       Oke sahabat serba ada semuanya. udah lama nich nggak posting. Buat sahabat semua yang udah nggak sabar menunggu postingan nya, Kalau kemaren Bunga caladium singonium telah sukses diuplodkan, sekarang Serba ada akan mostingin tentang sebuah cerita islami yang berjudul daerah pasti, yang semoga aja sahabat semua yang membacanya akan bisa mengambil hikmahnya.


cerita islami daerah pasti


Cerita islami daerah pasti 

       Pagi ini aku masih datang kesini. Ketempat makam nenekku yang masih baru. Dua hari yang telah, hari yang memilukan. Dua hari yang telah melenyapkan segala kasih dan sayang yang dicurahkan nenekku. Sejarah lama terulang kembali, kehilangan orang yang telah memberikan kasih dan sayang. Tempat mencurahkan kasih, dan tempat mencurahkan sayang.
      Apakah nasib yang telah menimpaku dan adik-adikku yang lain. Ya Allah. . . Kenapa Engkau ambil nyawa semua orang yang kusayangi. Memang tak pantas aku menangisi ketentuan yang telah ditetapkan ilahi. Namun apalah dayaku. Aku hanyalah manusia kerdil yang nista. Ya Allah tabahkanlah hatiku. Engkau tabahkanlah hati adik-adikku untuk meneruskan sisa hidup yang masih panjang dan berliku. Tanpa orang yang tersayang disampinhg disisi. Entah pada siapa kami akan mengadu nasip setelah ini.
       Keheningan pagi menusuk hingga terasa masuk kedalam tulang. Seperti dua hari yang lalu. Aku membacakan yasin untuk menyejukkan arwah yang dibawah sana. Ya Allah Engkau permudahkanlah perhitungan mereka disana. Ampunilah segala dosa-dosa mereka. Dan tempatkanlah mereka kedalam golongan orang-orang yang sholeh dan sholehah.
      Ku usap dengan lembut batu nisan yang baru dipasang itu. Baru dua kepergiannya, dan tanahnya pun masih merah. Sejak dua hari yang lalu aku telah puas menangisi keperguannya. Namun aku ridho. Ridho dengan kehendak-NYA. Allah lebih menyayanginya. Dan Allah telah menjemputnya. Daerah yang pasti akan didatangi.
      Pernah suatu saat, pas disaat aku lagi melipeti pakaian, nenek berkata dengan lembut.
      “Cu, kita hidup didunia ini ibarat buah kelapa. Bila udah tua kita tinggal menunggu masa gugurnya saja. Tapi kamu juga mesti ingat cu, buah yang muda juga diambil orang. Kalau udah sampai ajalnya, tak perduli tua, muda, sesaat pun tak akan ditangguhkan-NYA".
      Saat aku lagi ngelipetin pakaian diruang tengah. Dan diruang inilah tempat kami menyantap makanan. Dan diruangan ini jugalah adik-adikku mengulang pelajaran mereka.
      Mendalam banget kata-kata nenek. Menusuk hingga memercikkan keinsafan yang nyata pada diriku. Nenek jarang ngomong begitu. Nenek juga jarang mengatakan tentang alam yang abadi, karna nenek tak mau melihat aku dan adik-adikku sedih, tak mau kami menangisi kepergian orang-orang yang kusayang. Dari ibu dan bapak. Dan nenekku tak mau kami terus-terusan meratapinya. Neneklah satu-satunya orang tempat aku dan adik-adikku bergantung setelah kepergian bapak dan ibu ku. Dan sungguh tak pernah ku sangka kalau nenek juga akan menyusul mereka dengan secepat ini.
      Masih terngiang-ngiang kata-kata nenek dua bulan yang lalu. Tak pernah kusangka kalau kata-katanya itu akan menjadi kenyataan. Dua hari yang lewat, terbersit juga dalam hatiku. Apakah nenek sudah tahu kalau umurnya sudah tak akan lama lagi.? Apakah dia sudah tahu kalau dia akan menghadapi janji ilahi secepat ini. Nenek kejam.! Jeritku dalam hati. Kenapa nenek meninggalkan kami, setelah kami kehilangan bapak dan ibuku.
      “Atika. . . bangun nak.” Kejut nenek ku suatu pagi.
      Nenek pasti akan membangun kan aku dahulu untuk bangun dan bersujud kepada-NYA pada tiap-tiap subuh, selepas itu baru aku yang membangunkan adik-adikku, aldi, aisah, fitri. Dan fafa adikku yang bungsu, aku biarkan saja. Tarik selimut yang lusuh untuk menutupi tubuhnya yang makin mengurus.
      Tubuhnya semakin lemah. Tiap saat dia Cuma mau disuapin dengan bubur. Tak mau langsung disuapkan dengan nasi. Pasti langsung dimuntahkannya. Aku sangat kasihan melihatnya. Dia mengalami kecacatan sejak bayi. Fafa mengalami demam yang sangat tinggi saat umurnya masih berusia 4bulan. Akibat keadaannya itu. Tumbuh besarnya jadi nggak normal. Fisiknya kelihatan normal. Namun dia tidak seperti abang dan kakak nya yang lain. Fafa. Dia lemah untuk bergerak tak seperti temannya yang lain. Yang sebayanya. Sekarang usianya udah beranjak enam tahun, tidak ada yang bisa aku lakukan. Dia hanya sempat mengenal bapaknya ketika umurnya baru setahun jagung. Ketika itulah bapak dijemput malaikat Izroil untuk menuju tempat yang pasti. Disaat fafa sangat memerlukan kasih sayang seorang bapak. Dan disaat itu juga bapak pergi meninggalkannya. Dan meninggalkan aku dan adik-adikku yang lain. Untuk selama-selamanya.
       Bapak pergi meninggalkan kami karna penyakit kencing manis. Penyakit yang diidapnya dari ketika beliau masih muda. Bapak pergi dalam kepiluan. Dan bapak sangat menderita diakhir hidupnya. Kaki bapak yang luka pada asalnya, karna penyakit kencing manis itu, membuat kakinya yang luka menjadi sangat parah, dan menyebabkannya harus diamputasi. Sebelum menjalar ketempat yang lain. Bapak hanya menggunakan sebelah kakinya saja untuk menempuh perjalannannya yang penuh duri dan berliku. Tak lama setelah kaki kirinya diamputasi. Kali ini luka ditempat lain lagi yang muncul. Kali ini tangannya yang harus diamputasi. Bapak semakin tak berdaya melawan penyakitnya itu.
       Bapak hanya mampu terbaring ditikar pandan dan dijaga oleh istri yang setia, aku dan adik-adikku. Semakin hari bapak semakin melemah. Dan pada akhirnya bapak mengembuskan nafasnya yang terakhir ditikar pandan itu. Meninggalkan kenangan diatas tikar pandan yang usang. Akhirnya bapak pergi meninggal kami.
      “Aldi, aisah, fitri...” perlahan suaraku mengagetkan mereka. “Cepet bangun dan ambil air wudhu.”
      Ringkas mereka langsung bangun dan mengambil air wudhu diluar sana, airnya memang sejuk. Menusuk hingga ketulang. Sekarang kami tinggal dirumah nenek yang serba kekurangan. Namun aku sangat bersukur dengan apa yang aku peroleh. Masih mempunyai tempat berlindung. Berlindung dari hujan dan panas. Berlindung dari manusia yang bertopengkan dengan kepalsuan. Kami sangat nyaman begini. Dan aku juga tak pernah mendengar adik-adikku mengeluh kekurangan ini, kekurangan itu. Rumah nenek memang berada dipelosok ujung kampung. Bersebelahan dengan pemakaman umum. Dan disitulah tempat tempat bersemayamnya orang-orang yang aku sayangi. Bapak dan ibu. Dan setiap ku buka jendela, terlihatlah batu-batu nisan yang memutih diluar sana. Aku nanti juga pasti akan kesana. Daerah yang pasti. Dan kita semua juga pasti akan kesana. Suatu tempat yang pasti. Setiap saat aku selalu mengirimkan Al-fatihah untuk mereka yang disana.
      Setiap pagi nenek menyiapkan sarapan untuk kami cucu-cucunya. Walau pun tidak segagah dulu. Namun nenek akan melakukan apapun yang ia mampu. Nenek terpaksa memikul tanggungjawab yang selama ini dipikul ibu. Sebelum ibu juga pergi meninggalkan kami. Pada ramadhan yang lalu. Ibulah segalanya setelah kepergian bapak.
      Nenek menyediakan sarapan cuma ala kadarnya saja. Cuma sebatas hanya untuk mengganjal perut. Pagi ini nenek hanya menyediakan singkong rebus. Itulah makanan yang disediakan nenek pagi ini. Aku bersyukur, dan kami bersyukur. Aku menyiapkan pakaian aisah dan fitri untuk mereka bersekolah. Dan aku juga yang mengantar mereka kesekolah yang terletak sekitar 8km dari rumah nenek. Dengan menggunakan motor butut peninggalan bapak. Motor yang sangat berjasa kepada kami semua. Dan aku juga bekerja sama bu alfan dikota. Sedikit banyak juga bisa menampung perbelanjaan kami. Dan aldi membantu pak jaya dibengkel mobilnya diujung kampung.
       Aldi bekerja ditempat pak jaya atas permintaan lurah setempat, karna prihatin melihat keadaan kulargaku. Lembaran hijau dan merah diberikan pak lurah kapadaku. Alhamdulillah. . . aku bersukur karna dalam kepayahan hidup kami sekeluarga. Masih ada orang yang sudi meyisipkan kejayaan mereka. Untuk membantu kesusahan kami. Aku mengangkat tangan, menadah kesyukuran yang berpanjangan kepada-NYA. Dan setiap bulan kami mendapatkan uang sumbangan dari masyarakat untuk kami meneruskan perjuangan hidup kami yang panjang. Perjuangan yang baru permulaan.
       Nenek seorang yang tabah. Tabah menghadapi cobaan-NYA, dan disaat-saat ujung usiannya. Nenek juga tetap tabah kehilangan anaknya. Yaitu ibu ku dan adik-adikku. Nenek juga tabah menghadapi kehilangan menantunya. Yaitu ayah kami. Nenek masih tetap kuat menghadapinya. Sedangkan orang lain yang seusia nenek seharusnya menumpang kesenangan kepada anak-anaknya yang telah berhasil. Menumpat hidup sebelum dijemput pergi oleh ilahi. Namun nenek malah sebaliknya. Terpaksa menjaga kami empat bersodara.
       Kami berempat tinggal dengan nenek sejak ramadhan yang lalu. Dan nenek juga yang menjaga kami disaat ibu sakit. Ibu mengidap kanker payudara. Kanker yang membunuh kaum wanita. Satu penyakit yang sangat ditakuti oleh setiap wanita. Ibu menderita hampir sebulan sebelum beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.
      “Atika. . .” kata ibu dengan lembut disaat aku berada disisinya. Aku lah yang banyak menjaga ibu selama dirumah sakit. Nenek mengambil alih tugas ibu untuk menjaga adik-adikku. Dirumah yang usang, peninggalan kakekku dulu.
       “Ya bu.” Aku membalasnya.
       “Kalau ibu pergi, kamu jangan abaikan tanggung jawab kamu ya.? Jaga adik-adikmu seperti ibu menjagamu. Yang penting jaga fafa. Dia adik kamu yang paling ibu sayang. Satu lagi. Ibu tak mau melihat kamu berpecah. Mak mau kamu semua bersatu. Bersatu hati walaupun cobaan datang silih berganti.”
      “Ibu mau, kamu semua berhasil. Kamu masih ingatkan sama amanat bapakmu dulu. Bapak mau kamu semua belajar dengan sungguh-sungguh, agar kamu semuanya berhasil. Sekarang ibu pun mau berpesan hal yang sama. Belajar ya nak” kata ibu dengan sayu. Aku yang mendengarnya juga merasa sangat pilu.
      Aku benar-benar terharu mendengar mendengar perkataan ibu. Langsung ku genggam tangan ibu, dengan erat. Tak mau aku lepaskan walau sesaat sekalipun. Setelah itu ketatap mata ibuku. Jika bisa aku juga tak akan berkedip sekalipun. Karna aku takut seandainya aku memejamkan mataku. Aku tak berpeluang lagi untuk menatap mata itu.
       “Bu. . . Ibu. . .” susah untuk meneruskannya karna meahan perasaan yang sangat haru. “Ibu nggak boleh ngomong begitu. Ibu nggak sayang sama kami.? Ibu mau tinggalkan kami.? Ibu nggak boleh ikut bapak.? Atika masih memerluka ibu. Adik-adik juga memerluka ibu.? Jangan bu, jangan tinggalkan kami.? Cukup hanya bapak yang tinggalkan kami semua. Atika nggak pengen ibu juga pergi untuk menyusul bapak.? Atika nggak sanggup bu. Nggak sanggup.” Manik-manik jernih mulai membasahi pipiku. Mengalir hingga ketautan tangan ku dan ibuku. Tautan yang tak ingi aku lepaskan. Ibu juga menangis. Aku tahu ibu sedang menanggung derita yang sangat berat. Sudah lama ibu menderita karna penyakit ini. Sudah lama ibu menyimpannya. Ibu sengaja tak memberi tahu kami. Ibu sengaja tak mau dirawat. Katanya takut bayarannya mahal. Takut kesengsaraan kami berpanjangan, aku makin mempererat genggaman tanganku, lalu kucium tangan ibu. Dan kucium juga dahi ibu. Tetes demi tetes air mata mengalir dipipi ibu ku.
         Tiba-tiba kurasa genggaman tangan ibu melemah. Aku panik.
         “Dokter.!” Jeritku dengan kenceng. “Dokter.!” Jerit ku lagi. Aku tidak memperdulikan sekelilingku. Aku tak memperdulikan siapa pun. Yang aku ingin dokter segera datang untuk melihat keadaan ibu ku yang kian kaku.
         “Maafkan saya.?” Kata dokter perlahan.
        Aku langsung meraung. Meraung semahu-mahuku. Ibu pergi setelah menyampaikan amanat terakhirnya yang sangat mengharukan. Ibu pergi meninggalkan semua derita yang sekian lama ditanggungnya. Akhirnya ibu pergi juga. Separuh nyawaku meratap disitu. Ibu menghembuskan nafasnya dibulan ramadhan. Bulan yang penuh berkah. Bulan penuh kenikmatan. Ibu pergi sebelum sempat menjelang syawal. Ibu pergi meninggalkan kami selama-lamanya. Ibu pergi menemui bapak yang sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan kami.
        Nenek pun sangat terpukul. Terpukul karna tak berada disisi anaknya, ketika hayatnya telah diujung. Nenek tak sempat kerumah sakit, nenek juga sangat sedih dengan kepergian ibu. Tak pernah untuk disangkanya anaknya akan pergi mendahului dirinya yang telah renta.
       Dan apa yang membuatku pusing adalah, nenek ku dua bulan terakhir ini sering banget sakit-sakitan. Aku bener-bener kuatir dengan keadaan ini. Nenek selalu batuk-batuk. Katanya sih biasa-biasa aja, penyakit orang tua. Nenek jangan pergi. Jangan tinggalkan kami. Cukuplah hanya ibu dan bapak yang pergi. Nenek jangan pergi dulu. Berilah kami peluang untuk mendapatkan kasih sayang. Kami semua dahaga akan kasih sayang.
      Hati kecilku merintih.
      Namun. Akhirnya nenek juga pergi. Pergi meninggalkan aku dan adik-adikku. Nenek pergi kedaerah yang pasti. Mengikuti bapak dan ibu. Aku terpaksa menerimanya dengan lapang dada. Aku pasti akan datang lagi besok. Datang untuk mencabut rumput dikuburan ibu, dan bapak yang bersebelahan dengan kubur nenek. Datang mengirimkan Al-Fatihah dan membacakan Al-Quran untuk mereka disana.
 Sekian. . .

  Oke.. Cukup sekian dulu ya ceritanya. Tunggu aja lanjutan-lanjutan dari cerita-cerita yang lainnya. tongkrongin aja tetap yang pastinya hanya ada di Serba ada...

0 komentar:

Posting Komentar

Cool B themes Slider